Para OYPMK dan penyandang disabilitas lainnya, hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi. Meskipun telah dinyatakan sembuh dan telah meyelesaikan rangkaian pengobatan atau RFT (Release From Treatment) namun status atau predikat sebagai penyandang kusta akan tetap ada pada dirinya seumur hidup. Hal tersebut yang menjadi dasar permasalahan psikologis pada OYPMK, hingga akhirnya tidak merasakan makna merdeka sesungguhnya.
Lalu bagaimana OYPMK memaknai kemerdekaan dan kebebasan dalam berkarya, kesejahteraan mental, dapat bersosialisasi di masyarakat tanpa adanya hambatan dan stigma baik dari diri sendiri maupun lingkungan yang melekat pada dirinya? Apa peran serta masyarakat dan orang-orang terdekat dalam upaya mendukung pemberdayaan OYPMK dan penyandang disabilitas?
Masih dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan untuk menjawab masalah tersebut pada Rabu (24/8) lalu Ruang Publik KBR yang bekerjasama dengan SUKA Project dari NLR Indonesia mengadakan talkshow dengan mengangkat tema ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’. Dalam talkshow selama satu jam itu menghadirkan dua narasumber, Dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute) dan Marsinah Dhede (OYPMK yang juga aktivis wanita dan difabel)
Talkshow ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’ dapat ditonton melalui live YouTube Berita KBR. Talkshow ini juga dapat didengarkan di 105 radio jaringan KBR seluruh Indonesia, 104.2 MSTri FM Jakarta, dan live streaming via website kbr.id. Talkshow yang dipandu oleh Rizal Wijaya ini berlangsung interaktif, di mana kita dapat bertanya langsung melalui kolom chat di YouTube Berita KBR atau melalui telepon bebas pulsa di 0800 245 7893 dan di WhatsApp 0812 118 8181. Talkshow ini juga dapat disaksikan oleh para OYPMK dan penyandang disabilitas.
Masih dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan untuk menjawab masalah tersebut pada Rabu (24/8) lalu Ruang Publik KBR yang bekerjasama dengan SUKA Project dari NLR Indonesia mengadakan talkshow dengan mengangkat tema ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’. Dalam talkshow selama satu jam itu menghadirkan dua narasumber, Dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute) dan Marsinah Dhede (OYPMK yang juga aktivis wanita dan difabel)
Talkshow ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’ dapat ditonton melalui live YouTube Berita KBR. Talkshow ini juga dapat didengarkan di 105 radio jaringan KBR seluruh Indonesia, 104.2 MSTri FM Jakarta, dan live streaming via website kbr.id. Talkshow yang dipandu oleh Rizal Wijaya ini berlangsung interaktif, di mana kita dapat bertanya langsung melalui kolom chat di YouTube Berita KBR atau melalui telepon bebas pulsa di 0800 245 7893 dan di WhatsApp 0812 118 8181. Talkshow ini juga dapat disaksikan oleh para OYPMK dan penyandang disabilitas.
Faktor Pemicu Permasalahan Psikologis
Sebelum menjabarkan faktor-faktor apa yang menjadi pemicu permasalah psikologis bagi para OYPMK dan penyandang disabilitas, Dr. Mimi Mariani Lusli menjelaskan mengenai lembaga yang dikelolanya ini. “Mimi Institute merupakan sebuah lembaga yang hadir pada 2009. Sesuai dengan visi Mainstreaming Disability for Better Life, kami ingin membiasakan masyarakat untuk dapat berinteraksi dengan teman-teman disabilitas bagaimanapun caranya,” ungkap Dr. Mimi.
Untuk dapat mewujudkan interaksi yang baik antara penyandang disabilitas dengan masyarakat, Mimi Institute menyediakan berbagai kegiatan mulai dari konsultasi, edukasi untuk anak dan remaja berkebutuhan khusus, dan juga mengedukasi para masyarakat melalui seminar, publikasi buku yang berisikan pengetahuan apa itu disabilitas dan bagaimana berinteraksi dengan para disabilitas
Dr. Mimi Mariani Lusli, OYPMK yang kini menjabat sebagai Direktur Mimi Institute, menceritakan kisahnya saat menderita kusta hingga mengalami kebutaan di usia 17 tahun. Hal pertama yang paling rentan adalah hadirnya guncangan psikologis saat mengetahui terkena kusta dan menjalani proses ke depannya.
Sebelum mendengar stigma dari orang lain, tidak sedikit OYPMK memberi stigma terhadap diri sendiri saat pertama kali didiagnosa kusta. Takut nanti merepotkan keluarga, dianggap aib, takut dengan anggapan miring orang lain dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pengetahuan yang masih kurang terhadap penyakit kusta menjadi alasan utamanya, yang berakhir dengan stigma dan diskriminasi. Kekeliruan bahwa kusta tidak bisa disembuhkan, menganggapnya penyakit kutukan dan sangat mudah menular, membuat OYPMK dijauhi dan dikucilkan. Padahal kenyataannya, kusta tidak semudah itu menular. Apalagi yang hanya berpapasan sesaat. Dan yang paling penting, kusta sangat bisa disembuhkan asal rutin menjalani pengobatan.
Marsinah Dhede, sebagai Aktivis Difabel dan Perempuan, sekaligus pernah menderita kusta, kisahnya tak kalah membuat terenyuh. Lebih muda lagi, di usia 8 tahun, beliau didiagnosa kusta. Informasi terkait kusta hanya didengarkan melalui radio dan butuh upaya untuk mencapai puskemas yang berjarak 2,5 km demi pengobatan. Di usia yang masih kanak-kanak, diskriminasi acap diterima dari teman sebaya, dan parahnya, guru di sekolah juga sempat mengusirnya dari kelas.
Beruntung Dr. Mimi dan Dhede mendapat dukungan dan rangkulan penuh dari keluarga. Keluarga menjadi dasar kepercayaan diri untuk kuat bersosialisasi setelah menjadi OYPMK. Butuh proses untuk menerima diri sendiri sehingga dapat bangkit dan menjalani kehidupan normal kembali. Perlu adanya keberanian bicara agar orang disekitar tahu bagaimana kondisi sebenarnya OYPMK tersebut. "Jadi jangan diam saja, bicarakan!" ungkap Dr. Mimi.
Dr. Mimi Mariani Lusli, OYPMK yang kini menjabat sebagai Direktur Mimi Institute, menceritakan kisahnya saat menderita kusta hingga mengalami kebutaan di usia 17 tahun. Hal pertama yang paling rentan adalah hadirnya guncangan psikologis saat mengetahui terkena kusta dan menjalani proses ke depannya.
Sebelum mendengar stigma dari orang lain, tidak sedikit OYPMK memberi stigma terhadap diri sendiri saat pertama kali didiagnosa kusta. Takut nanti merepotkan keluarga, dianggap aib, takut dengan anggapan miring orang lain dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pengetahuan yang masih kurang terhadap penyakit kusta menjadi alasan utamanya, yang berakhir dengan stigma dan diskriminasi. Kekeliruan bahwa kusta tidak bisa disembuhkan, menganggapnya penyakit kutukan dan sangat mudah menular, membuat OYPMK dijauhi dan dikucilkan. Padahal kenyataannya, kusta tidak semudah itu menular. Apalagi yang hanya berpapasan sesaat. Dan yang paling penting, kusta sangat bisa disembuhkan asal rutin menjalani pengobatan.
Marsinah Dhede, sebagai Aktivis Difabel dan Perempuan, sekaligus pernah menderita kusta, kisahnya tak kalah membuat terenyuh. Lebih muda lagi, di usia 8 tahun, beliau didiagnosa kusta. Informasi terkait kusta hanya didengarkan melalui radio dan butuh upaya untuk mencapai puskemas yang berjarak 2,5 km demi pengobatan. Di usia yang masih kanak-kanak, diskriminasi acap diterima dari teman sebaya, dan parahnya, guru di sekolah juga sempat mengusirnya dari kelas.
Beruntung Dr. Mimi dan Dhede mendapat dukungan dan rangkulan penuh dari keluarga. Keluarga menjadi dasar kepercayaan diri untuk kuat bersosialisasi setelah menjadi OYPMK. Butuh proses untuk menerima diri sendiri sehingga dapat bangkit dan menjalani kehidupan normal kembali. Perlu adanya keberanian bicara agar orang disekitar tahu bagaimana kondisi sebenarnya OYPMK tersebut. "Jadi jangan diam saja, bicarakan!" ungkap Dr. Mimi.
Kemerdekaan untuk Mereka Para Disabilitas dan OYPMK
Dhede mengatakan bahwa untuk bisa bangkit, butuh lebih banyak peluang dan pilihan. Stigma harus segera dipulihkan agar OYPMK juga bisa lebih cepat kembali ke masyarakat. Pendidikan pun semestinya berperan dan mendukung untuk membekali OYPMK agar punya kemampuan bersaing tanpa perlu mengotak-ngotakkan. Bila kemampuan itu ada, OYPMK dapat meminta hak dalam Undang-Undang yang menyediakan kuota 2% dari total pegawai/karyawan di pemerintah, pemda, BUMN dan BUMD.
Dr, Mimi mengharapkaan implementasi regulasi terkait disabilitas, yang termasuk juga OYPMK di dalamnya, dapat lebih optimal lagi. Undang-Undang yang mengatur sudah ada, namun realisasinya belum sepenuhnya sesuai. Pemerintah dapat mengencangkan sosialisasi agar lebih banyak masyarakat teredukasi. Tentu ini menjadi peluang dan penyemangat bangkit bagi OYPMK, karena kesempatan itu ada.
Affirmative action, itulah intinya. Bagaimana caranya agar masyarakat dapat menerima dan melibatkan OYPMK dalam bersosial. Adalah dengan regulasi, sosialisasi dan edukasi.
Dr, Mimi mengharapkaan implementasi regulasi terkait disabilitas, yang termasuk juga OYPMK di dalamnya, dapat lebih optimal lagi. Undang-Undang yang mengatur sudah ada, namun realisasinya belum sepenuhnya sesuai. Pemerintah dapat mengencangkan sosialisasi agar lebih banyak masyarakat teredukasi. Tentu ini menjadi peluang dan penyemangat bangkit bagi OYPMK, karena kesempatan itu ada.
Affirmative action, itulah intinya. Bagaimana caranya agar masyarakat dapat menerima dan melibatkan OYPMK dalam bersosial. Adalah dengan regulasi, sosialisasi dan edukasi.
Teman-teman OYPMK atau disabilitas bisa
saling melakukan perjuangan sendiri untuk bekerja, menuntut ilmu dan
lainnya. Jikapun mengalai pelanggaran, atau hak-hak yang nggak
terpenuhi, teman-teman bisa menghubungi lembaga-lembaga sosial atau
organisasi yang menangani yang berkaitan dengan penyakit-penyakit
tertentu atau penyandang disabilitas itu sendiri.
Terakhir,
Dr Mimi berharap, stigma-stigma negatif tentang penyakit dan penderita
kusta tidak lagi diberikan untuk mereka. Kita pun sebagai masyarakat
bisa ikut belajar dan mencari tahu lebih banyak apa itu Kusta,
penanganan, cara menanggulangi, penyebab dan pengobatannya melalui
internet atau ke pusat kesehatan terdekat.
Dan
begitu pula yang disampaikan oleh Mbak Dhede, untuk merdeka, kita bisa
memulainya dari diri sendiri. Ajak orang-orang di sekitar untuk paham
dan mencari tahu tentang penyakit-penyakit tertentu yang dianggap mudah
menular. Karena dengan begitu, kita bisa keluar dari himpitan pikiran
yang menggangu psikologis dan membuat kita tidak merdeka dalam melihat
sesuatu.
0 comments
What's your opinion about this article ?